12/28/2012
12/19/2012
SEJARAH SISINGAAN


Sisingaan atau Gotong Singa (sebutan lainnya Odong-odong) merupakan salah satu jenis seni pertunjukan rakyat Jawa Barat, khas Subang (di samping seni lainnya seperti Bajidoran dan Genjring Bonyok) berupa keterampilan memainkan tandu berisi boneka singa (Sunda: sisingaan, singa tiruan) berpenunggang.
Terdapat beberapa keterangan tentang asal usul Sisingaan ini, di antaranya bahwa Sisingaan memiliki hubungan dengan bentuk perlawanan rakyat terhadap penjajah lewat binatang Singa kembar (Singa kembar lambang penjajah Belanda), yang pada waktu itu hanya punya sisa waktu luang dua hari dalam seminggu. Keterangan lain dikaitkan dengan semangat menampilkan jenis kesenian di Anjungan Jawa Barat sekitar tahun 70-an, ketika Bupati Subang dipegang oleh Pak Atju. Pada waktu itu RAF (Rachmatulah Ading Affandi) yang juga tengah berdinas di Subang, karena ia dikenal sebagai seniman dan budayawan dimintakan kitanya. Dalam prosesnya itu, akhirnya ditampilkanlah Gotong Singa atau Sisingaan yang dalam bentuknya masih sederhana, termasuk musik pengiringnya dan kostum penari pengusung Sisingaan. Ternyata sambutannya sangat luar biasa, sejak itu Sisingaan menjadi dikenal masyarakat.
Dalam perkembangan bentuknya Sisingaan, dari bentuk Singa Kembar yang sederhana, semakin lama disempurnakan, baik bahan maupun rupanya, semakin gagah dan menarik. Demikian juga para pengusung Sisingaan, kostumnya semakin dibuat glamour dengan warna-warna kontras dan menyolok.. Demikian pula dengan penataan gerak tarinya dari hari ke hari semakin ditata dan disempurnakan. Juga musik pengiringnya, sudah ditambahkan dengan berbagai perkusi lain, seperti bedug, genjring dll. Begitu juga dengan lagu-lagunya, lagu-lagu dangdut popular sekarang menjadi dominan. Dalam beberapa festival Helaran Sisingaan selalu menjadi unggulan, masyarakat semakin menyukainya, karena itu perkembangannya sangat pesat.
Dewasa ini, di Subang saja diperkirakan ada 200 grup Sisingaan yang tersebar di setiap desa, oleh karena itu Festival Sisingaan Kabupaten Subang yang diselenggarakan setiap tahunnya, merupakan jawaban konkrit dari antusiasme masyarakat Subang. Karena bagi pemenang, diberi peluang mengisi acara di tingkat regional, nasional, bahkan internasional. Penyebaran Sisingaan sangat cepat, dibeberapa daerah di luar Subang, seperti Sumedang, Kabupaten Bandung, Purwakarta, dll, Sisingaan menjadi salah satu jenis pertunjukan rakyat yang disukai, terutama dalam acara-acara khitanan dan perkawinan. Sebagai seni helaran yang unggul, Sisingaan dikemas sedemikian rupa dengan penambahan pelbagai atraksi, misalnya yang paling menonjol adalah Jajangkungan dengan tampilan manusia-manusia yang tinggi menjangkau langit, sekitar 3-4 meter, serta ditambahkan dengan bunyibunyian petasan yang dipasang dalam bentuk sebuah senapan.
Dalam rangka menumbuhkembangkan seni sisingaan khas kabupaten subang, sanggar seni ninaproduction berupaya untuk melakukan regerasi melaui pembinaan tari anak-anak usia 7 tahun sampai remaja, termasuk tari sisingaan. Nina production beralamat di Jalan Patinggi no 78 Desa buni hayu Jalancagak Subang, sampai saat ini Sanggar Nina Production telah di liput oleh trans 7 dalam acara wara wiri, Daai TV dan sekarang tangggal 2 Mei 2010 akan diliput oleh ANTV dalam acara anak pemberani.
Pertunjukan
Pertunjukan Sisingaan pada dasarnya dimulai dengan tetabuhan musik yang dinamis. Lalu diikuti oleh permainan Sisingaan oleh penari pengusung sisingaan, lewat gerak antara lain: Pasang/Kuda-kuda, Bangkaret, Masang/Ancang-ancang, Gugulingan, Sepakan dua, Langkah mundur, Kael, Mincid, Ewag, Jeblag, Putar taktak, Gendong Singa, Nanggeuy Singa, Angkat jungjung, Ngolecer,Lambang, Pasagi Tilu, Melak cau, Nincak rancatan, dan Kakapalan. Sebagai seni Helaran, Sisingaan bergerak terus mengelilingi kampung, desa, atau jalanan kota. Sampai akhirnya kembali ke tempat semula. Di dalam perkembangannya, musik pengiring lebih dinamis, dan melahirkan musik Genjring Bonyok dan juga Tardug.Penyajian
Pola penyajian Sisingaan meliputi:- Tatalu (tetabuhan, arang-arang bubuka) atau keringan
- Kidung atau kembang gadung
- Sajian Ibingan di antaranya solor, gondang, ewang (kangsreng), catrik, kosong-kosong dan lain-lain
- Atraksi atau demo, biasanya disebut atraksi kamonesan dalam pertunjukan Sisingaan yang awalnya terinspirasi oleh atraksi Adem Ayem (genjring akrobat) dan Liong (barongsay)
- Penutup dengan musik keringan.
Musik pengiring
Musik pengiring Sisingaan pada awalnya cukup sederhana, antara lain: Kendang Indung (2 buah), Kulanter, Bonang (ketuk), Tarompet, Goong, Kempul, Kecrek. Karena Helaran, memainkannya sambil berdiri, digotong dan diikatkan ke tubuh. Dalam perkembangannya sekarang memakai juru kawih dengan lagu-lagu (baik vokal maupun intrumental), antara lain: Lagu Keringan, Lagu Kidung, Lagu Titipatipa, Lagu Gondang,Lagu Kasreng, Lagu Selingan (Siyur, Tepang Sono, Awet rajet, Serat Salira, Madu dan Racun, Pria Idaman, Goyang Dombret, Warudoyong dll), Lagu Gurudugan, Lagu Mapay Roko atau Mars-an (sebagai lagu penutup). Lagu lagu dalam Sisingaan tersebut diambil dari lagu-lagu kesenian Ketuk Tilu, Doger dan Kliningan.Pemaknaan
Ada beberapa makna yang terkandung dalam seni pertunjukan Sisingaan, diantaranya:- Makna sosial, masyarakat Subang percaya bahwa jiwa kesenian rakyat sangat berperan dalam diri mereka, seperti egalitarian, spontanitas, dan rasa memiliki dari setiap jenis seni rakyat yang muncul.
- Makna teatrikal, dilihat dari penampilannya Sisingaan dewasa ini tak diragukan lagi sangat teatrikal, apalagi setelah ditmabhakn berbagai variasi, seperti jajangkungan dan lain-lain.
- Makna komersial, karena Sisingaan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka, maka antusiasme munculnya sejumlah puluhan bahkan ratusan kelompok Sisingaan dari berbagai desa untuk ikut festival, menunjukan peluang ini, karena si pemenang akan mendapatkan peluang bisnis yang menggiurkan, sama halnya seperti seni bajidoran.
- Makna universal, dalam setiap etnik dan bangsa seringkali dipunyai pemujaan terhadap binatang Singa (terutama Eropa dan Afrika), meskipun di Jawa Barat tidak terdapat habitat binatang Singa, namun dengan konsep kerkayatan, dapat saja Singa muncul bukan dihabitatnya, dan diterima sebagai miliknya, terbukti pada Sisingaan.
- Makna Spiritual, dipercaya oleh masyarakat lingkungannya untuk keselamatan/ (salametan) atau syukuran.
sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Sisingaan
sumber gambar:inilah.com
12/16/2012
BUDAYA BUKAN LEMBARAN BUKU


"Orang tua kita pernah mengatakan, bahwa terpuruknya suatu bangsa ketika hilangnya Budaya Bangsa tersebut dan terjajah oleh budaya luar, faktanya ketika Negara Jepang, Cina, Thailan, Arab dan negara lainnya yang mempertahankan tulisan/hurufnya bisa menjadi Jati Diri Bangsanya. Sementara kita sibuk berlomba membuat kaligrafi dan motif tulisan laten yang sebenarnya kita memiliki motif tulisan Jawa Kuno yang tidak kalah menarik dan terdapat makna dalam tulisan itu. Dan fakta lainnya Anak kita lebih sering memegan gitar daripada kecapi, adik kita lebih sering memainkan rekorder daripada suling. Hal itu karena kita lebih sering bernyanyi Pop atau Rock'n Roll daripada Sinom atau Kinanti (Pupuh.Nyanyian Sunda)
"Jangan menggunakan mulut orang untuk berteriak tapi gunakanlah mulut sendiri untuk berteriak", doronglah Budaya Bangsa ini jangan membanggakan Budaya Bangsa lain, karena akan seperti sekumpulan rayap di pintu Rumah, semakin didiamkan akan merugikan karena hilangnya Jati Diri Bangsa itu sendiri. Hilangnya Jati Diri juga berarti kita kehilangan Kepribadian yang akhirnya berprilaku seperti Pion Catur, susunan langkahnya dimainkan.
Percuma kita membuat pagar sementara kebunnya tidak pernah terurus. UNESCO hanya menetapkan bukan untuk mengurus atau mengangkat budaya kita dan pemerintah hanya mampu SATU kata: MARIIIII..!! dan selebihnya himbauan.
Untuk itu, kembalilah kejiwa kita. Satukan Jiwa ini dengan Ibu Pertiwi karena di tanah inilah kita dilahirkan, di tanah inilah kita mendapatkan kehidupan.
Penulis: Wawan Kuswanto
Kepala Pasewokan LABRI SUBANG
Kepala Pasewokan LABRI SUBANG
sumber gambar:nikolausharbowo.wordpress.com
12/15/2012
Sejarah Gedung Wisma Karya Subang


![]() |
Gedung Wisma Karya |
Wisma Karya, yang berada di pusat Kota Subang, menyimpan nilai sejarah penting bagi perjalanan kemerdekaan di tanah pasundan. Pada era penjajahan belanda, gedung Wisma Karya dijadikan tempat refreshing kaum gegeden Belanda di bawah kepemimpinan Tuan PW Hofland. Gedung ini berdiri di atas lahan seluas sekitar 1 ha dan sekarang merupakan area perkantoran. Dulunya gedung ini bernama Societeit dan dibangun pada masa perusahaan P&T Lands PW Hofland. Berdirinya perusahan P&T Lands dilatarbelakangi defisit keuangan Belanda pada masa Thomas Stanford Raffles. Sejumlah tanah kekuasaan pemerintah kolonial dijual kepada partikelir. Pada tahun 1812, Pamanukan dan Ciasem dijual kepada Muntinghe dan Shrapnell. Kemudian pada 1854 dijual lagi kepada Peter Wellem Hofland, yang kemudian perusahaan perkebunan ini dinamakan P&T Lands (Pamanukan & Tjiasem Lands).
Dalam naskah sejarah PW Hofland yang di Museum Daerah Kabupaten Subang menyebutkan, Hofland melakukan penjajahan di daerah Subang, dengan cara memperluas kekuasaan dengan menjalankan usaha di bidang perkebunan kopi. Foflan juga terkenal dengan julukan saudagar kopi. Dalam jajahannya ini Hofland menggunakan cara yang halus dan tidak diketahui rakyat pada awalnya. Namun dengan secara sengaja Hofland memang sedang menjalankan jajahannya di daerah Subang yaitu melalui perluasan tanah untuk di gunakan sebagai lahan usahanya. Selama beberapa tahun menjajah, Hofland pun berhasil memperluas kekuasaannya. Atas keberhasilannya ini, Hofland membuat kontrak dengan pemerintah Hindia-Belanda dalam bidang perdagangan kopi pada tahun 1840. Hofland turut menjadi pemilik tanah P&T (Pamanoekan & Tjiasem) Landen. Kemudian pada tahun 1858 seluruh tanah partikelir P&T Land menjadi milik pribadi Hofland. Pemerintah Hindia-Belanda kemudian memberikan kekuasaan untuk mengnagkat pejabat pemerintah partikelir yang disebut Demang pada 18 Agustus 1859.
Dengan pengangkatan pejabat pemerintahan partikelir Demang tersebut, wilayah Subang terbagi ke dalam delapan kademangan. Terdiri dari Kademangan Batu Sirap (Cisalak), Kademangan Ciherang/Wanareja, Kademangan Sagalaherang, Kademangan Pagaden, Kademangan Pamanukan, Kademangan Ciasem, Kademangan Malang/Purwadadi dan Kademangan Kalijati.
Dalam upaya mengeklusifkan diri di tanah jajahannya, kemudian Hofland bersama delapan demang mendirikan sebuah gedung diberi nama Societe atau kelompok masyarakat yang mengeksklusifkan diri. Kelompok inilah yang sering berkumpul untuk saling bersosialisasi di gedung yang sekarang dikenal dengan nama Wisma Karya. Gedung ini digunakan untuk tempat berkumpul para demang. Pada 14 Januari 1929 gedung ini direnovasi dan diresmikan Mrs WH Daukes, tujuannya sebagai tempat untuk bersosialisasi para pejabat P&T Land, tempat pertunjukan atau hiburan, olahraga, golf, bilyard dan bowling bangsa asing.
Dilihat dari arsitektur bangunannya, pada bagian kanan gedung Wisma Karya yang menghadap ke arah Bandung itu terdapat ruangan pertemuan berikut panggung. Di tempat itulah, para gegeden Belanda itu menonton film dan berdansa. Sementara pada bagian kanan, pun terdapat ruangan yang ukurannya lebih kecil dari tempat pemutaran film dan berdansa. Di belakang ruangan keduanya, terdapat beberapa ruangan yang menyerupai kantor-kantor.
Hingga saat ini arsitektur bangunan gedung bersejarah itu dipertahankan seperti aslinya. Hanya saja pemanfatannya yang mengalami perubahan. Pada sekitar dua tahun lalu, gedung Wisma Karya dijadikan kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Subang dan juga di beberapa ruangan Wisma Karya dijadikan museum benda purbakala, kalau yang dulunya tempat dansa sekarang kerap disewakan untuk event. Dan beberapa tempat lainnya digunakan untuk kantor ormas.
dirangkum dari berbagai sumber antara lain:
http://asosiasibmx.com/id/calendar/venueevents/75-wisma-karya-subang
http://www.tintahijau.com/indeks/55-budaya/703-menelurusi-sejarah-wisma-karya-doeloe-dan-kini.html
http://pasundanekspres.co.id/pasundan/4264-sejarah-gedung-wisma-karya-dan-patung-petter-willem-hofland
sumber gambar: http://intanpandinni.blogspot.com
12/14/2012
LABRI SUBANG: Kronologi Sejarah Sunda


LABRI SUBANG: Kronologi Sejarah Sunda: Kata Sunda artinya Bagus/ Baik/ Putih/ Bersih/ Cemerlang, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memili...
Ciung Wanara
Ciung Wanara adalah legenda
di kalangan orang Sunda di Indonesia.
Cerita rakyat
ini menceritakan legenda Kerajaan Sunda Galuh,
asal muasal nama Sungai Pamali serta
menggambarkan hubungan budaya antara orang Sunda dan Jawa
yang tinggal di bagian barat provinsi Jawa Tengah.
Cerita ini berasal dari tradisi cerita lisan Sunda
yang disebut Pantun Sunda, yang kemudian dituliskan ke dalam
buku yang ditulis oleh beberapa penulis Sunda, baik dalam bahasa Sunda
dan bahasa Indonesia.
Ringkasan
Turunnya
sang raja
Dahulu berdirilah sebuah kerajaan besar di pulau Jawa
yang disebut Kerajaan Galuh, ibukotanya terletak di Galuh
dekat Ciamis
sekarang. Dipercaya bahwa pada saat itu kerajaan Galuh membentang dari Hujung Kulon,
ujung Barat Jawa, sampai ke Hujung Galuh ("Ujung Galuh"), yang saat ini adalah
muara dari Sungai Brantas di dekat Surabaya
sekarang. Kerajaan ini diperintah oleh Raja Prabu Permana Di Kusumah. Setelah
memerintah dalam waktu yang lama Raja memutuskan untuk menjadi seorang pertapa dan karena itu ia
memanggil menteri Aria Kebonan ke istana. Selain itu, Aria Kebonan juga telah
datang kepada raja untuk membawa laporan tentang kerajaan. Sementara ia
menunggu di depan pendapa,
ia melihat pelayan sibuk mondar-mandir, mengatur segalanya untuk raja. Menteri
itu berpikir betapa senangnya akan menjadi raja. Setiap perintah dipatuhi,
setiap keinginan terpenuhi. Karena itu ia pun ingin menjadi raja.
Saat ia sedang melamun di sana, raja memanggilnya.
"Aria Kebonan, apakah benar bahwa Engkau ingin
menjadi raja?" Raja tahu itu karena ia diberkahi dengan kekuatan
supranatural.
"Tidak, Yang Mulia, aku tidak akan bisa."
"Jangan berbohong, Aria Kebonan, aku tahu
itu."
"Maaf, Yang Mulia, Saya baru saja
memikirkannya." "Yah, Aku akan membuat engkau menjadi raja Selama Aku
pergi untuk bermeditasi, Engkau akan menjadi raja dan memerintah dengan benar..
Engkau tidak akan memperlakukan (tidur dengan) kedua istriku, Dewi Pangrenyep
dan Dewi Naganingrum sebagai istrimu."
"Baiklah, Yang Mulia."
"Aku akan mengubah penampilanmu menjadi seorang
pria tampan. Nama Anda akan Prabu Barma Wijaya.. Beritahulah pada orang-orang
bahwa raja telah menjadi muda dan Aku sendiri akan pergi ke suatu tempat
rahasia. Dengan demikian engkau akan menjadi raja!"
Pada saat penampilan Aria Kebonan menyerupai Prabu
Permana di Kusumah itu, tapi tampak sepuluh tahun lebih muda. Orang percaya
pengumuman bahwa ia adalah Raja Prabu Permana Di Kusumah yang telah menjadi
sepuluh tahun lebih muda dan mengubah namanya menjadi Prabu Barma Wijaya. Hanya
satu orang tidak percaya ceritanya. Ia adalah Uwa Batara lengser yang
mengetahui perjanjian antara raja dan menteri tersebut. Prabu Barma Wijaya
menjadi bangga dan mempermalukan Uwa Batara lengser yang tidak dapat melakukan
apa-apa. Dia juga memperlakukan kedua ratu dengan kasar. Keduanya
menghindarinya, kecuali di depan umum ketika mereka berperilaku seolah-olah
mereka istri Prabu Barma Wijaya.
Kelahiran
dua pangeran
Suatu malam kedua ratu bermimpi bahwa bulan jatuh di
atas mereka. Mereka melaporkan hal itu kepada raja yang membuatnya ketakutan,
karena mimpi tersebut biasanya peringatan bagi wanita yang akan hamil. Hal ini
tidak mungkin karena ia tidak bersalah memperlakukan kedua ratu sebagai
istri-istrinya. Uwa Batara lengser muncul dan mengusulkan untuk mengundang
seorang pertapa baru, yang disebut Ajar Sukaresi - yang tidak lain adalah Raja
Prabu Permana Di Kusumah - untuk menjelaskan mimpi yang aneh tersebut. Prabu
Barma Wijaya setuju, dan begitu pertapa tiba di istana ia ditanya oleh raja
tentang arti mimpi itu.
"Kedua ratu mengharapkan seorang anak, Yang
Mulia." Meskipun terkejut dengan jawabannya, Prabu Barma Wijaya masih bisa
mengendalikan diri. Ingin tahu seberapa jauh pertapa berani berbohong kepada
dia, dia mengajukan pertanyaan lain. "Apakah mereka akan anak perempuan
atau anak laki-laki?"
"Keduanya anak laki-laki, Yang Mulia." Pada
hal ini raja tidak bisa lagi menahan diri, mengambil kerisnya dan menusuk Ajar
Sukaresi agar dia mati namun Dia gagal. Keris itu bengkok.
"Apakah Raja berkehendak aku mati? Bila begitu,
saya akan mati." Kemudian pertapa itu jatuh. Raja menendang mayatnya
begitu hebat sehingga terlempar ke dalam hutan di mana ia berubah menjadi seekor
naga besar, yang disebut Nagawiru. Di keraton, sesuatu yang aneh terjadi. Kedua
ratu memang hamil. Setelah beberapa waktu Dewi Pangrenyep melahirkan seorang
putra yang bernama Hariang Banga.
Suatu hari ketika Prabu Barma Wijaya mengunjungi Dewi
Naganingrum, secara ajaib janin dalam kandungan Naganingrum yang belum lahir
tersebut berbicara: "Barma Wijaya, Engkau telah melupakan banyak janjimu.
Semakin banyak Anda melakukan hal-hal kejam, kekuasaan Anda akan semakin
pendek.."
Rencana
jahat
Peristiwa aneh janin yang dapat berbicara
tersebut membuat Raja sangat marah dan takut terhadap ancaman janin tersebut.
Dia ingin menyingkirkan janin itu dan segera menemukan cara untuk melakukannya.
Dia meminta bantuan Dewi Pangrenyep untuk dapat terlepas dari bayi Dewi
Naganingrum yang akan lahir sebagai bajingan menurut impiannya. Dia tidak akan
cocok untuk menjadi penguasa negeri ini bersama-sama dengan Hariang Banga,
putra Dewi Pangrenyep. Ratu percaya hal tersebut dan setuju, tapi apa yang
harus dilakukan? "Kita akan menukar bayi tersebut dengan anjing dan
melemparkannya ke sungai Citanduy."
Sebelum melahirkan, Dewi
Pangrenyep menghimbau Dewi Naganingrum untuk menutupi matanya dengan malam
(lilin)
yang biasanya digunakan untuk membatik. Dia berpendapat bahwa perlakuan ini adalah untuk
menghindarkan ibu yang sedang melahirkan agar tidak melihat terlalu banyak
darah yang mungkin dapat membuat dia pingsan. Naganingrum setuju dan Pangrenyep
pun menutup mata Dewi Naganingrum dengan lilin, berpura-pura membantu ratu
malang tersebut. Naganingrum tidak menyadari apa yang terjadi, bayi yang baru
lahir itu dimasukkan ke dalam keranjang dan dilemparkan ke dalam Sungai Citanduy, setelah
ditukar dengan bayi anjing yang dibaringkan di pangkuan sang ibu yang tidak
curiga akan perbuatan jahat tersebut.
Ratu Naganingrum segera menyadari bahwa ia tengah
menggendong seekor bayi anjing, ia sangat terkejut dan jatuh sedih. Kedua
pelaku kejahatan berusaha menyingkirkan Dewi Naganingrum dari istana dengan
mengatakan kebohongan kepada rakyat, tapi tidak ada yang percaya kepada mereka.
Bahkan Uwa Batara lengser tak dapat melakukan apa-apa karena Raja serta Ratu
Dewi Pangrenyep sangat berkuasa. Barma Wijaya bahkan memerintahkan hukuman mati
atas Dewi Naganingrum karena dia telah melahirkan seekor anjing, yang dianggap
sebagai kutukan dari para dewa dan aib bagi kerajaan. Uwa Batara lengser
mendapat perintah untuk melaksanakan eksekusi tersebut. Dia membawa ratu yang
malang ke hutan, namun dia tak sampai hati membunuhnya, ia bahkan membangunkan
sebuah gubuk yang baik untuknya. Untuk meyakinkan Raja dan Ratu Pangrenyep
bahwa ia telah melakukan perintah mereka, ia menunjukkan kepada mereka pakaian
Dewi Naganingrum yang berlumuran darah.
Sabung ayam
Di desa Geger Sunten, tepian sungai Citanduy, hiduplah
sepasang suami istri tua yang biasa memasang bubu keramba perangkap ikan yang
terbuat dari bambu di sungai untuk menangkap ikan. Suatu pagi mereka pergi ke
sungai untuk mengambil ikan yang terperangkap di dalam bubu, dan sangat
terkejut bukannya menemukan ikan melainkan keranjang yang tersangkut pada bubu
tersebut. Setelah membukanya, mereka menemukan bayi yang menggemaskan. Mereka
membawa pulang bayi tersebut, merawatnya dan menyayanginya seperti anak mereka
sendiri.
Dengan berlalunya waktu bayi tumbuh menjadi seorang pemuda
rupawan yang menemani berburu orang tua dalam hutan. Suatu hari mereka melihat
seekor burung dan monyet.
"Burung dan monyet apakah itu, Ayah?"
"Burung itu disebut Ciung dan monyet itu adalah
Wanara, anakku."
"Kalau begitu, panggillah aku Ciung Wanara."
Orang tua itu menyetujui karena arti kedua kata tersebut cocok dengan karakter
anak itu.
Suatu hari ia bertanya pada orang tuanya mengapa dia
berbeda dengan anak laki-laki lain dari desa tersebut dan mengapa mereka sangat
menghormatinya. Kemudian orang tua itu mengatakan kepadanya bahwa ia telah
terbawa arus sungai ke desat tersebut dalam sebuah keranjang dan bukan anak
dari desa tersebut.
"Orangtuamu pasti bangsawan dari Galuh."
"Kalau begitu, aku harus pergi ke sana di mencari
orang tua kandungku, Ayah."
"Itu benar, tetapi kamu harus pergi dengan
seorang teman. Di keranjang itu ada telur. Ambillah, pergilah ke hutan dan
carilah unggas untuk menetaskan telur itu."
Ciung Wanara mengambil telur itu, pergi ke hutan
seperti yang diperintahkan oleh sang orang tua, tetapi ia tidak dapat menemukan
unggas. Ia menemukan Nagawiru yang baik kepada dia dan yang menawarkan dia
untuk menetas telur. Dia meletakkan telur di bawah naga itu dan taklama setelah
menetas, anak ayam tumbuh dengan cepat. Ciung Wanara memasukkannya ke dalam
keranjang, meninggalkan orang tua dan istrinya dan memulai perjalanannya ke
Galuh.
Di ibukota Galuh, sabung ayam
adalah sebuah acara olahraga besar, baik raja dan rakyatnya menyukainya. Raja
Barma Wijaya memiliki ayam jago yang besar dan
tak terkalahkan bernama Si Jeling. Dalam kesombongannya, ia menyatakan bahwa ia
akan mengabulkan keinginan apapun kepada pemilik ayam yang bisa mengalahkan
ayam juaranya.
Saat tiba, anak ayam Ciung Wanara sudah tumbuh menjadi
ayam petarung yang kuat. Sementara Ciung Wanara sedang mencari pemilik
keranjang, ia ikut ambil bagian dalam turnamen adu ayam kerajaan. Ayamnya tidak
pernah kalah. Kabar tentang anak muda yang ayam jantannya selalu menang di
sabung ayam akhirnya mencapai telinga Prabu Barma Wijaya yang kemudian
memerintahkan Uwa Batara lengser untuk menemukan pemuda itu. Orang tua itu
segera menyadari bahwa pemuda pemilik ayam itu adalah putra Dewi Naganingrum
yang telah lama hilang, terutama ketika Ciung Wanara menunjukkan padanya
keranjang di mana ia telah dihanyutkan ke sungai. Uwa Batara Lengser mengatakan
pada Ciung Wanara bahwa raja telah memerintahkan hal tersebut selain menuduh
ibunya telah melahirkan seekor anjing.
"Jika ayam kamu menang melawan ayam raja,
mintalah saja kepadanya setengah dari kerajaan sebagai hadiah kemenangan
kamu."
Keesokan paginya Ciung Wanara muncul di depan Prabu
Barma Wijaya dan menceritakan apa yang telah diusulkan Lengser. Raja setuju
karena dia yakin akan kemenangan ayam jantannya yang disebut Si Jeling. Si
Jeling sedikit lebih besar dari ayam jago Ciung Wanara, namun ayam Ciung Wanara
lebih kuat karena dierami oleh naga Nagawiru. Dalam pertarungan berdarah ini,
ayam sang Raja kehilangan nyawanya dalam pertarungan dan raja terpaksa memenuhi
janjinya untuk memberikan Ciung Wanara setengah dari kerajaannya.
Perang
saudara
Ciung Wanara menjadi raja dari setengah kerajaan dan
membangun penjara besi yang dibangun untuk mengurung orang-orang jahat. Ciung
Wanara merencanakan siasat untuk menghukum Prabu Barma Jaya dan Dewi
Pangrenyep. Suatu hari Prabu Barma Jaya dan Dewi Pangrenyep diundang oleh Ciung
Wanara untuk datang dan memeriksa penjara yang baru dibangun. Ketika mereka
berada di dalam, Ciung Wanara menutup pintu dan mengunci mereka di dalam. Dia
kemudian memberitahu orang-orang di kerajaan tentang perbuatan jahat Barma dan
Pangrenyep, orang-orang pun bersorak.
Namun, Hariang Banga, putera Dewi Pangrenyep, menjadi
sedih mengetahui tentang penangkapan ibunya. Ia menyusun rencana pemberontakan,
mengumpulkan banyak tentara dan memimpin perang melawan adiknya. Dalam
pertempuran, ia menyerang Ciung Wanara dan para pengikutnya. Ciung Wanara dan
Hariang Banga adalah pangeran yang kuat dan berkeahlian tinggi dalam seni bela
diri pencak silat.
Namun Ciung Wanara berhasil mendorong Hariang Banga ke tepian Sungai Brebes. Pertempuran
terus berlangsung tanpa ada yang menang. Tiba-tiba muncullah Raja Prabu Permana
Di Kusumah didampingi oleh Ratu Dewi Naganingrum dan Uwa Batara lengser.
"Hariang Banga dan Ciung Wanara!" kata Raja,
"Hentikan pertempuran ini adalah pamali ("tabu" atau
"dilarang" dalam bahasa Sunda dan Jawa) - berperang melawan saudara
sendiri. Kalian adalah saudara, kalian berdua adalah anak-anakku yang akan
memerintah di negeri ini, Ciung Wanara di Galuh dan Hariang Banga di timur
sungai Brebes, negara baru. Semoga sungai ini menjadi batas dan mengubah
namanya dari Sungai Brebes menjadi Sungai pamali untuk
mengingatkan kalian berdua bahwa adalah pamali untuk memerangi saudara
sendiri. Biarlah Dewi Pangrenyep dan Barma Wijaya yang dahulu adalah Aria
Kebonan dipenjara karena dosa mereka." Sejak itu nama sungai ini dikenal
sebagai Cipamali (Bahasa Sunda) atau Kali Pemali (Bahasa Jawa) yang berarti
"Sungai Pamali".
Hariang Banga pindah ke timur dan dikenal sebagai Jaka
Susuruh. Dia mendirikan kerajaan Jawa dan menjadi raja Jawa, dan pengikutnya yang
setia menjadi nenek moyang orang Jawa. Ciung Wanara memerintah kerajaan
Galuh dengan adil, rakyatnya adalah orang Sunda,
sejak itu Galuh dan Jawa makmur lagi seperti pada zaman Prabu Permana Di
Kusumah. Saat kembali menuju ke barat, Ciung Wanara menyanyikan legenda ini
dalam bentuk Pantun Sunda, sementara kakaknya menuju ke
timur dengan melakukan hal yang sama, menyanyikan cerita epik ini dalam bentuk tembang.
Interpretasi
Legenda ini adalah cerita rakyat Sunda untuk
menjelaskan asal nama Sungai Pamali, serta untuk
menjelaskan asal-usul hubungan orang Sunda
dengan orang Jawa;
tentang dua bersaudara yang bersaing dan memerintah di pulau yang sama (Jawa). Menurut keyakinan
ini, orang Sunda menganggap orang Jawa sebagai saudara mereka yang lebih tua,
walaupun kerajaan di tanah Sunda (Kerajaan Galuh) lebih tua dari kerajaan yang
didirikan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Hal ini kemudian berhubungan dengan fakta sejarah bahwa kerajaan tertua di Jawa
memang terletak di Jawa Barat, yaitu Kerajaan Tarumanagara.
Langganan:
Postingan (Atom)
